Fiskal dan moneter adalah 2 kebijakan yang harus saling bersinegi
Bukan mau komplain, mau kasih komen aja terkait tax amnesty. Dengan sepenuh hati gw tentu senang dengan inovasi pemerintah (Kementerian Keuangan dan Dirjen Pajak lebih tepatnya) untuk mengeluarkan kebijakan tax amnesty ini. Mereka memiliki tujuan mulia untuk membangun negara tercinta kita ini. Pemerintah mencari peluang sumber dana agar proyek-proyek pembangunan bisa jalan.
Gw sebagai penduduk indonesia tentu mendukung rencana pemerintah ini. Logika pemerintah tentu ga salah, kalau mau membangun suatu negara lo harus membangun fasilitasnya, dan lo butuh dana untuk membiayai proyek itu. Nah kalau sumber dana yang ada sekarang tidak mencukupi, berarti lo harus nyari sumber pendanaan baru doong. Antara berhutang atau bikin cara baru dapetin dana. As simple as that.
Tax amnesty adalah salah satu triknya.
Kebijakan tax amnesty diharapkan dapat memberikan capital inflow/masuknya dana dari luar ke Indonesia dan kemudian dapat digunakan untuk membiayai proyek-proyek dalam negeri.
Tax amnesty tak hanya berefek positif bagi pembangunan, namun juga memberi efek bagi kondisi moneter indonesia. Efek tersebut bisa dianggap positif dapat pula dianggap negatif, tergantung sudut pandang. Disini gw ingin memberikan analogi berlakunya tax amnesty bagi keadaan moneter.
ANALOGI SIMPLE GW
Tax amnesty mengakibatkan capital inflow ke Indonesia, dengan kata lain dana-dana dari luar negeri masuk. Senang doong ada uang masuk, valas masuk ke pasar uang bahkan dapat membajiri pasar uang. Eeh tapi tunggu dulu, masih ingat teori supply-demand di ekonomi ga? Gini, semakin banyak supply maka harga semakin turun. So dengan kata lain, semakin banyak supply valas maka nilai valasnya turun (atau bahasa lainnya rupiah menguat terhadap valas).
Pasti nih orang orang pada mikir, hebat..rupiah menguat..dari 13ribu jadi 11ribu. Eiits tunggu dulu, rupiah belum tentu bagus juga kalau terlalu menguat. Para exportir bisa komplain, mereka dapat valas di nilai tukar yang rendah nih, ga relaa. Walaupun di sisi lain si importir kesenangan karena mereka bisa beli dolar dengan harga murah tapi kan ga bisa gitu. Nilai rupiah harus membuat semua pelaku ekonomi senang, jangan satu pihak aja. Nah itulah makanya ada istilah Nilai Tukar Fundamental, yaitu nilai tukar yang pas baik bagi pelaku pasar yang menjual maupun yang membeli.
Sehingga, kembali ke analogi tadi, karena supply valas yang berlebih bisa menyebabkan nilai tukar rupiah menguat melebihi nilai fundamentalnya, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter harus bergerak doong. Gimana caranya? Caranya adalah BI melakukan intervensi di pasar uang, dengan membeli valas yang berlebih tersebut dengan Rupiah. Valas ditarik ke BI dan Rupiah masuk ke pasar uang. Sehingga supply valas di pasar uang berkurang. Begitulah cara BI menstabilkan nilai tukar sampai nilai tukar tersebut sesuai dengan nilai fundamental nya.
Okee, masalah mengatur nilai tukar selesai sampai disitu.
Tapiii ternyata masalah lain bisa muncul. Kasusnya adalah gara gara mengatur nilai tukar tadi, BI menguncurkan rupiah terlalu banyak ke pasar ternyata menyebabkan supply rupiah terlalu banyak. Nah loooh, tadi supply valas terlalu banyak ga baik, masa supply rupiah banyak juga ga baik siih. Benar, sesuatu yang berlebih itu ga baik sama sekali. Semakin banyak supply rupiah, nilai rupiah akan turun. Dengan kata lain inflasi. Rupiah ga ada harganya.
Sedih.
Di sini pulalah BI kemudian beraksi dengan melakukan operasi moneter. BI harus menarik rupiah tadi dengan instumen moneternya. Bisa menggunakan Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI), maupun instrumen lain yang membuat bank umum tertarik menempatkan rupiah mereka di Bank Indonesia. Diharapkan dengan operasi moneter ini rupiah kembali masuk ke BI dan supply rupiah di pasar uang berkurang, dan inflasi yang tinggi dapat dihindari.
Legaa, masalah mengatur inflasi selesai.
Tapiii, ada masalah tambahan (lagi). TERNYATA gara gara BI mengeluarkan instrumen moneter yang terlalu banyak dan bank umum naro rupiah banyak ke BI, BI harus mengeluarkan beban yang besar untuk bank umum tersebut. Kan kalau bank umum naro uang di BI, mereka dapat bunga. Kan kalau BI menjual surat hutang (SBI dan SDBI) BI harus bayar bunga. BIAYA MONETER BI MEMBESAR.
Ciyaan, BI harus mengeluarkan beban besar.. Tapi itulah tugas BI. Mau gimana lagi, toh BI bukan lembaga profit, rugi atau untung ga masalah, yasudahlah yaa.. Yang penting keadaan moneter indonesia membaik.
Itulah analogi simple dari gw.
Penutup..
BI mengeluarkan biaya yang besar untuk operasi moneter mungkin bukan sebuah masalah besar. Namun pertanyaannya adalah apakah biaya moneter yang dikeluarkan tersebut sebanding dengan pembagunan yang tercipta dari kebijakan tax amnesty ini.. Semoga saja sebanding. Untuk Indonesia tercinta yang lebih baik.